Tafsir Mafatih Al Ghaib

08 Juli 2008

Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ar-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ’ saja), seperti yang dituturkan adz-Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu Khalkân. Adapun yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w. 639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.


Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhruddin ar-Razi secara utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak bisa dijadikan pegangan.


Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi ar-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (Ar-Razi) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.


Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur’an beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur’an); Kedua, pada sisi lain, ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam bentuk al-Qur’an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, ar-Razi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur’an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya (Tafsir ar-Razi) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhruddin ar-Razi menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir. Dalam hal ini, wajar kiranya bila adz-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.

Fakhruddin ar-Razi sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang tata bahasa (gramatika). Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan (zodiak), langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia.

Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’ani al-Qur’an, Al-Farra’ wa al-Barrad, dan Gharib al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa’id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at-Thabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa’labi (Al-Kasyf wa al-Bayan), juga berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi’in. Sedangkan Tafsir bi ar-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba’i, Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh ar-Razi.

0 Coments, alhamdulillaaah..: