Fi Dzilal al-Qur'an awalnya hanya sebuah judul rubrik tetap yang diasuh oleh Sayyid Quthub atas permintaan Sa'id Ramadhan dalam majalah bulanan al-Muslimûn, sebuah jurnal yang diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1951 dan diharapkan bisa menjadi media yang memuat pandangan para pemikir muslim. Sayyid Quthub diminta oleh Sa'id Ramadhan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tulisannya sebulan sekali, dengan tema bersambung atau di bawah tajuk yang tetap.
Tulisan pertamanya, Tafsîr Sûrat al-Fâtihah, terbit dalam majalah al-Muslimûn edisi ketiga, yang kemudian disusul surat al-Baqarah. Pada akhir tulisannya dihentikan sampai di situ, alasannya ia akan menyusun sebuah tafsir yang akan diterbitkan dalam buku terpisah. Sayyid Quthub berencana untuk menerbitkan Fi Dzilal al-Qur'an dalam 30 juz secara berturut-turut, di mana setiap juz akan terbit dalam waktu 2 bulan. Karena itu, sebagai gantinya al-Muslimûn menerbitkan tulisannya yang lain di bawah judul “Nahwa Mujtama' Islâmy”, yang publikasinya dimulai sejak bulan Juli 1952.
Pada masa awal penahanannya, Sayyid Quthub tidak sempat menulis satu juz pun, sebab ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan mengalami penyiksaan yang berat. Begitu penguasa menjatuhkan vonis hukum penjara 15 tahun dan tekanan-tekanan terhadapnya dihentikan, maka dia segera berusaha menyelesaikan beberapa juz yang masih tersisa. Dalam situasi dan suasana seperti itulah Fi Dzilal al-Qur'an disusun, karenanya bagaimanapun juga konteks tersebut tidak bisa dilupakan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji pemikiran Sayyid Quthub. Serta, atas dasar itu pula, tidak heran bila Ali Iyazi mengkategorikannya sebagai kitab tafsir yang bermotif gerakan.
Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur'an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Dzilal al-Qur'an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur'an dalam kehidupan nyata.
Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra’iliyat, meninggalkan perbedaan fiqhiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat. Ini terlihat dalam bahasannya tentang perbedaan fiqhiyyah seputar fardhu wudhu’ (QS. Al-Ma’idah: 6).
Keenam, memandang al-Qur'an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqh, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur'an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan sebagai panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar.
Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial. Menurut Quthub, menata kehidupan sosial masyarakat yang Islami di atas petunjuk al-Qur'an merupakan kewajiban bagi umat Islam. Perintah Al-Qur'an untuk menafkahkan harta di jalan Allah berarti menghendaki adanya kehidupan masyarakat yang baik.
Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makkiyah dan Madaniyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas. Surat-surat Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga, dan neraka. Sementara surat Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial.
Menurut Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthub telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan.
0 Coments, alhamdulillaaah..:
Posting Komentar