Tafsir Fi Dzilal al-Qur'an

08 Juli 2008

Fi Dzilal al-Qur'an awalnya hanya sebuah judul rubrik tetap yang diasuh oleh Sayyid Quthub atas permintaan Sa'id Ramadhan dalam majalah bulanan al-Muslimûn, sebuah jurnal yang diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1951 dan diharapkan bisa menjadi media yang memuat pandangan para pemikir muslim. Sayyid Quthub diminta oleh Sa'id Ramadhan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tulisannya sebulan sekali, dengan tema bersambung atau di bawah tajuk yang tetap.


Tulisan pertamanya, Tafsîr Sûrat al-Fâtihah, terbit dalam majalah al-Muslimûn edisi ketiga, yang kemudian disusul surat al-Baqarah. Pada akhir tulisannya dihentikan sampai di situ, alasannya ia akan menyusun sebuah tafsir yang akan diterbitkan dalam buku terpisah. Sayyid Quthub berencana untuk menerbitkan Fi Dzilal al-Qur'an dalam 30 juz secara berturut-turut, di mana setiap juz akan terbit dalam waktu 2 bulan. Karena itu, sebagai gantinya al-Muslimûn menerbitkan tulisannya yang lain di bawah judul “Nahwa Mujtama' Islâmy”, yang publikasinya dimulai sejak bulan Juli 1952.

Enam belas juz telah diterbitkan pada periode antara Oktober 1952 hingga Januari 1954. Kemudian Sayyid menyelesaikan 2 juz berikutnya, yaitu juz ke-17 dan ke-18 di dalam tahanan rezim Nasser selama tiga bulan, dari Januari hingga Maret 1954.

Pada masa awal penahanannya, Sayyid Quthub tidak sempat menulis satu juz pun, sebab ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan mengalami penyiksaan yang berat. Begitu penguasa menjatuhkan vonis hukum penjara 15 tahun dan tekanan-tekanan terhadapnya dihentikan, maka dia segera berusaha menyelesaikan beberapa juz yang masih tersisa. Dalam situasi dan suasana seperti itulah Fi Dzilal al-Qur'an disusun, karenanya bagaimanapun juga konteks tersebut tidak bisa dilupakan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji pemikiran Sayyid Quthub. Serta, atas dasar itu pula, tidak heran bila Ali Iyazi mengkategorikannya sebagai kitab tafsir yang bermotif gerakan.

Ada beberapa metode yang digunakan dalam penafsirannya, antara lain: Pertama, memandang al-Qur'an sebagai satu kesatuan yang komprehenshif, di mana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, begitu pula keterkaitannya dengan fenomena alam (QS. al-Waqi’ah: 57-73). Ayat tersebut mengandung gambaran tentang fenomena alam semesta yang sederhana dan dialami setiap manusia, seperti masalah keturunan, tumbuhnya tanaman, adanya air, api, dan kematian. Manusia manakah di atas bumi ini yang tidak pernah mengalami kenyataan tersebut dalam pengalaman hidupnya? Begitulah cara al-Qur'an berdialog dengan manusia yang langsung menunjuk kepada Allah Swt. sebagai sumber semua wujud, demikian menurut Sayyid Quthub.

Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur'an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Dzilal al-Qur'an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur'an dalam kehidupan nyata.

Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya. Misalnya, ketika menafsirkan surat an-Nisa', ia menghubungkan dengan dua surat sebelumnya, yakni surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Keduanya berisi tentang perkembangan masyarakat Islam di Madinah, juga tentang karakteristik metode rabbany yang menjadi asas bagi perkembangan masyarakat tersebut. Surat an-Nisa' pun menguraikan hal yang sama.

Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra’iliyat, meninggalkan perbedaan fiqhiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat. Ini terlihat dalam bahasannya tentang perbedaan fiqhiyyah seputar fardhu wudhu’ (QS. Al-Ma’idah: 6).

Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb an-nuzûl) yang hanya berfungsi sebagai qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang pada keumuman lafadz daripada kekhususan sebab. Ini terlihat ketika beliau menafsirkan QS. an-Nisa': 43.

Keenam, memandang al-Qur'an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqh, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur'an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan sebagai panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar.

Sebagai uraian praktis dan bersifat pergerakan, Sayyid Quthub bermaksud menghadirkan al-Qur’an dalam kekinian dengan menghilangkan jurang dan membuka tabir yang memisahkan antara hati manusia dengan al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an telah terbukti mampu menciptakan dan mengembangkan suatu tatanan kehidupan umat Islam (QS. Ali Imran: 110). Kenyataan ini perlu ditegaskan bahwa penciptaan umat Islam dan pengembangannya sekaligus oleh al-Qur'an pada hakikatnya adalah momentum baru bagi lahirnya suatu umat manusia.

Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial. Menurut Quthub, menata kehidupan sosial masyarakat yang Islami di atas petunjuk al-Qur'an merupakan kewajiban bagi umat Islam. Perintah Al-Qur'an untuk menafkahkan harta di jalan Allah berarti menghendaki adanya kehidupan masyarakat yang baik.

Kedelapan, menjelaskan hikmah tasyri’ dan sebab penetapan hukum. Sayyid Quthub menjelaskan makna, hikmah, atau rahasia dari penetapan suatu syari’at dalam Islam bukanlah untuk mempersoalkan pelaksanaan ibadah itu sendiri, melainkan justru untuk menambah keyakinan dan kemantapan hati. Bertitik tolak dari inilah, Quthub mencoba menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tasyri’ dan ahkam. Hukum yang ada, baik yang berkenaan dengan ibadah, mu’amalah, peraturan, dan ketentuan perundangan pasti mengandung hikmah, karena datang dari Allah Yang Maha Bijaksana.

Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makkiyah dan Madaniyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas. Surat-surat Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga, dan neraka. Sementara surat Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial.

Menurut Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthub telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan.

0 Coments, alhamdulillaaah..: