Katalog Kitab Darul Manan

12 Juli 2008

Berikut adalah daftar kitab yang kami sediakan. Klik kanan "save as" untuk mendownload.

1. Kitab-kitab Tafsir

2. Kitab-kitab Syarh al Hadits

3. Kitab-kitab Fiqh Syafi'i

4. Kitab-kitab Fiqh 'Am

5. Kitab-kitab Tulisan Al Bany

6. Kitab-kitab Tulisan Ibnu Taimiyah

7. Kitab-kitab Tulisan Ibnu al Qayim

8. Kitab-kitab Fatawa

9. Kitab-kitab Matan Hadits

10. Kitab-kitab Sirah

11. Kitab-kitab Akhlaq wa al Raqa'iq

Selengkapnya...

Anwar al Tanzil wa Asrar al Ta'wil

10 Juli 2008

Kitab tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya, hingga tercatat sebanyak 83 buah kitab yang berisi hal itu. Dan, kitab yang terkenal memberikan catatan pinggir terhadap Tafsir al-Baidhawi di antaranya adalah catatan pinggir Syekh Zadah dan Syihab al-Khaffaji (‘Inâyat al-Qâdhi).

Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.

Metode penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.

Penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.

Namun demikian, kitab ini tidak terhindar dari hadis-hadis dha’if atau palsu, dan cerita israiliyat (walau sedikit sekali) pada pembahasan akhir surat tentang keutamaannya.
Selengkapnya...

Tafsir al-Maraghi

08 Juli 2008

Tafsir al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.

Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.

Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli.

Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya:

"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".

Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, di samping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.

Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.

Kalau diadakan pembacaan yang lebih cermat, akan diperoleh kesan bahwa dalam menyusun tafsirnya Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Terlepas dari apakah Tafsir Al-Maraghi banyak dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang lain, secara deskriptif sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalamnya adalah sebagai berikut:

1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.

2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.

3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.

4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.

Ali Iyazi menyimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kelas menengah dalam memahami Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Qur'an. Lalu, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.

Selengkapnya...

Tafsir Fi Dzilal al-Qur'an

Fi Dzilal al-Qur'an awalnya hanya sebuah judul rubrik tetap yang diasuh oleh Sayyid Quthub atas permintaan Sa'id Ramadhan dalam majalah bulanan al-Muslimûn, sebuah jurnal yang diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1951 dan diharapkan bisa menjadi media yang memuat pandangan para pemikir muslim. Sayyid Quthub diminta oleh Sa'id Ramadhan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tulisannya sebulan sekali, dengan tema bersambung atau di bawah tajuk yang tetap.


Tulisan pertamanya, Tafsîr Sûrat al-Fâtihah, terbit dalam majalah al-Muslimûn edisi ketiga, yang kemudian disusul surat al-Baqarah. Pada akhir tulisannya dihentikan sampai di situ, alasannya ia akan menyusun sebuah tafsir yang akan diterbitkan dalam buku terpisah. Sayyid Quthub berencana untuk menerbitkan Fi Dzilal al-Qur'an dalam 30 juz secara berturut-turut, di mana setiap juz akan terbit dalam waktu 2 bulan. Karena itu, sebagai gantinya al-Muslimûn menerbitkan tulisannya yang lain di bawah judul “Nahwa Mujtama' Islâmy”, yang publikasinya dimulai sejak bulan Juli 1952.

Enam belas juz telah diterbitkan pada periode antara Oktober 1952 hingga Januari 1954. Kemudian Sayyid menyelesaikan 2 juz berikutnya, yaitu juz ke-17 dan ke-18 di dalam tahanan rezim Nasser selama tiga bulan, dari Januari hingga Maret 1954.

Pada masa awal penahanannya, Sayyid Quthub tidak sempat menulis satu juz pun, sebab ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan mengalami penyiksaan yang berat. Begitu penguasa menjatuhkan vonis hukum penjara 15 tahun dan tekanan-tekanan terhadapnya dihentikan, maka dia segera berusaha menyelesaikan beberapa juz yang masih tersisa. Dalam situasi dan suasana seperti itulah Fi Dzilal al-Qur'an disusun, karenanya bagaimanapun juga konteks tersebut tidak bisa dilupakan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji pemikiran Sayyid Quthub. Serta, atas dasar itu pula, tidak heran bila Ali Iyazi mengkategorikannya sebagai kitab tafsir yang bermotif gerakan.

Ada beberapa metode yang digunakan dalam penafsirannya, antara lain: Pertama, memandang al-Qur'an sebagai satu kesatuan yang komprehenshif, di mana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, begitu pula keterkaitannya dengan fenomena alam (QS. al-Waqi’ah: 57-73). Ayat tersebut mengandung gambaran tentang fenomena alam semesta yang sederhana dan dialami setiap manusia, seperti masalah keturunan, tumbuhnya tanaman, adanya air, api, dan kematian. Manusia manakah di atas bumi ini yang tidak pernah mengalami kenyataan tersebut dalam pengalaman hidupnya? Begitulah cara al-Qur'an berdialog dengan manusia yang langsung menunjuk kepada Allah Swt. sebagai sumber semua wujud, demikian menurut Sayyid Quthub.

Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur'an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Dzilal al-Qur'an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur'an dalam kehidupan nyata.

Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya. Misalnya, ketika menafsirkan surat an-Nisa', ia menghubungkan dengan dua surat sebelumnya, yakni surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Keduanya berisi tentang perkembangan masyarakat Islam di Madinah, juga tentang karakteristik metode rabbany yang menjadi asas bagi perkembangan masyarakat tersebut. Surat an-Nisa' pun menguraikan hal yang sama.

Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra’iliyat, meninggalkan perbedaan fiqhiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat. Ini terlihat dalam bahasannya tentang perbedaan fiqhiyyah seputar fardhu wudhu’ (QS. Al-Ma’idah: 6).

Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb an-nuzûl) yang hanya berfungsi sebagai qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang pada keumuman lafadz daripada kekhususan sebab. Ini terlihat ketika beliau menafsirkan QS. an-Nisa': 43.

Keenam, memandang al-Qur'an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqh, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur'an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan sebagai panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar.

Sebagai uraian praktis dan bersifat pergerakan, Sayyid Quthub bermaksud menghadirkan al-Qur’an dalam kekinian dengan menghilangkan jurang dan membuka tabir yang memisahkan antara hati manusia dengan al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an telah terbukti mampu menciptakan dan mengembangkan suatu tatanan kehidupan umat Islam (QS. Ali Imran: 110). Kenyataan ini perlu ditegaskan bahwa penciptaan umat Islam dan pengembangannya sekaligus oleh al-Qur'an pada hakikatnya adalah momentum baru bagi lahirnya suatu umat manusia.

Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial. Menurut Quthub, menata kehidupan sosial masyarakat yang Islami di atas petunjuk al-Qur'an merupakan kewajiban bagi umat Islam. Perintah Al-Qur'an untuk menafkahkan harta di jalan Allah berarti menghendaki adanya kehidupan masyarakat yang baik.

Kedelapan, menjelaskan hikmah tasyri’ dan sebab penetapan hukum. Sayyid Quthub menjelaskan makna, hikmah, atau rahasia dari penetapan suatu syari’at dalam Islam bukanlah untuk mempersoalkan pelaksanaan ibadah itu sendiri, melainkan justru untuk menambah keyakinan dan kemantapan hati. Bertitik tolak dari inilah, Quthub mencoba menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tasyri’ dan ahkam. Hukum yang ada, baik yang berkenaan dengan ibadah, mu’amalah, peraturan, dan ketentuan perundangan pasti mengandung hikmah, karena datang dari Allah Yang Maha Bijaksana.

Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makkiyah dan Madaniyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas. Surat-surat Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga, dan neraka. Sementara surat Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial.

Menurut Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthub telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan.

Selengkapnya...

Tafsir Al-Kasysyaf

Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.

Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.

Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).

Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.

Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:

"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".


Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.

Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.

Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:

1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;

2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;

3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;

4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;

5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,

6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,

7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan

8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.

Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.

Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Selengkapnya...

Tafsir Mafatih Al Ghaib

Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ar-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ’ saja), seperti yang dituturkan adz-Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu Khalkân. Adapun yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w. 639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.


Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhruddin ar-Razi secara utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak bisa dijadikan pegangan.


Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi ar-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (Ar-Razi) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.


Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur’an beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur’an); Kedua, pada sisi lain, ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam bentuk al-Qur’an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, ar-Razi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur’an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya (Tafsir ar-Razi) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhruddin ar-Razi menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir. Dalam hal ini, wajar kiranya bila adz-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.

Fakhruddin ar-Razi sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang tata bahasa (gramatika). Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan (zodiak), langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia.

Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’ani al-Qur’an, Al-Farra’ wa al-Barrad, dan Gharib al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa’id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at-Thabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa’labi (Al-Kasyf wa al-Bayan), juga berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi’in. Sedangkan Tafsir bi ar-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba’i, Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh ar-Razi.
Selengkapnya...

Tafsir Al-Manar

Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.

Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.

Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh. Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha – yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh -- yaitu: Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw; dan Kedua, banyak menukil pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, karena ia menilai bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata pikiran dan hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an.

Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan perspektif al-Qur’an.

Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur'an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur'an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.

Selengkapnya...

Adhwa' al-Bayân fi Idhâhi al-Qurân bi al-Qurân

Judul lengkapnya adalah Adhwa' al-Bayân fi Idhâhi al-Qurân bi al-Qurân. Tafsir ini diterbitkan oleh 'Alam al-Kutub (Beirut) pada tahun 1382 H. dan oleh Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, pada tahun 1408 H. (9 jilid).

Tafsir ini pada hakekatnya merupakan karya bersama antara seorang guru dengan seorang murid, hampir sama dengan Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Rasyīd Ridha. Perbedaannya, dalam Tafsir al-Manār tulisan murid yang lebih panjang, sedangkan di sini tulisan guru yang lebih dominan. Ali-Iyazi menjelaskan bahwa penulisan tafsir ini dilakukan dengan cara mendiktekan. Hal itu dilakukan sampai akhir surah al-Mujadalah. Sebagaimana Muhammad Abduh, Asy-Syanqithi terhalangi oleh keterbatasan usianya untuk menyelesaikan tafsirnya sampai akhir. Karenanya, usaha tersebut dilanjutkan oleh muridnya, Atiyyah Muhammad Salim, dengan menambahkan tiga jilid terakhir. Dua jilid merupakan penyempurnaan terhadap tafsirnya dan jilid yang terakhir memuat ringkasan karya-karya as-Syanqithi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Tafsir ini tidak mengakomodasi keseluruhan ayat Al-Qur'an. Ayat-ayat yang dibahas dipilih berdasarkan tingkat kesulitan menurut penulisnya. Artinya, yang dipaparkan di sana adalah ayat-ayat yang menurut asy-Syanqithi susah dipahami.

Ia menafsirkan ayat yang global, baik karena lafadz satu kata terlihat sangat umum maupun karena redaksinya. Hal itu dijelaskan dengan rincian atau penjelasan yang terdapat pada surah lain, baik berupa penjelasan yang eksplisit maupun yang implisit. Penyempurnaan yang dilakukan muridnya, 'Atiyyah Muhammad Salim, juga menggunakan metodologi yang sama. Ia mengusahakan apa yang pernah diusahakan penulisnya sendiri, bahkan menambahkan beberapa hal yang dianggap perlu dan belum sempat ditunaikan oleh gurunya tersebut.

Dalam pendahuluannya, asy-Syanqithi menyebutkan tujuan penyusunan kitab tafsirnya yang berkisar pada dua hal: Pertama, menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an; dan Kedua, menjelaskan hukum-hukum fiqh yang di dalamnya terdapat masalah hukum. Menjelaskan dalil-dalilnya, dari sunnah Nabi, pendapat para ulama dengan memaparkan hasil tarjihnya.


Ia memulai tafsirnya dengan menyebut dan menjelaskan kata yang maknanya samar-samar di dalam sebuah ayat al-Qur'an. Hal ini dilakukan tanpa menyebutkan identitas surah seperti nama, keutamaan, dan qira'ahnya, serta tidak menjelaskan semua kata yang ada di dalam sebuah ayat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mufassir sebelumnya.

Seperti yang ia jelaskan di dalam pembukaan kitabnya mengenai metodologi yang ditempuh, ia hampir tidak membahas satu ayat Al-Qur'an pun kecuali hal itu dijelaskan dengan ayat yang lain. Ia juga kadang-kadang menjelaskan ayat-ayat tentang masalah hukum secara panjang lebar, menampilkan masalah-masalah kebahasaan, seperti sharf dan i'rab, sepanjang hal tersebut dibutuhkan, dan sya’ir Arab sebagai pembuktian (syawâhid). Di antara yang menjadi pusat perhatiannya juga adalah pemaparan dan penjelasan masalah-masalah teologis. Khusus yang berkaitan dengan masalah ini, seperti sifat-sifat Tuhan, ru'yat (melihat Tuhan), Tuhan bersemayam, qadha dan qadar, dan lain-lain, beliau mengikuti faham teologis ahl As-Sunnah wa al-Jamâ'ah as-Salafiyyah.

Dalam pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqh dan teologi, ia lazimnya memaparkan pendapat dari berbagai aliran dan kemudian mentarjihnya (sintesa). Di sini nampak dukungannya yang sangat kental terhadap aliran ahlussunnah.

Pembahasan tafsirnya didasarkan pada pendapat para sahabat, tabi’in, para mufassir sebelumnya, seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan az-Zamakhsyari, serta merujuk pada hadis-hadis yang tercantum dalam enam kitab hadis yang shahih (kutub as-sittah) dan pendapat-pendapat ahli fiqh yang empat (madzahib al-arba’ah). Juga, banyak pendapat mengenai hukum yang dinukil dari al-Qurthubi, an-Nawawi, dan Ibnu Qudâmah di dalam kitab tafsir ini.
Selengkapnya...

Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an

Namanya menunjukkan kualitas kitabnya. Arti judul kitab ini (Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an -red) adalah "Keterangan Lengkap Tentang Tafsir Al Qur’an" atau yang di kalangan ulama dan pencari ilmu, populer dengan sebutan Tafsir Ath Thabari. Demikianlah kira-kira yang nampaknya laik, yang tentunya komentar ulama lebih afdhal diberikan kepada sebuah tafsir legendaris karya seorang bapak tafsir dan tarikh Islam, Al Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath Thabari yang hidup tahun 224-310 H.

Sebagaimana judulnya, tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang paling lengkap dan populer di kalangan ulama dan pencari ilmu. Tak heran bila kitab ini dijadikan rujukan para ahli tafsir yang mengedepankan nash maupun ahli tafsir yang lebih mengedepankan logika dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an di jamannya.

Tafsir Ath Thabari memuat istinbath (pengambilan hukum), menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi pandang yang didasarkan kepada logika dan pembahasan nash ilmiah yang teliti.

Tafsir yang pada awalnya hampir tak terdeteksi rimbanya ini terdiri dari 30 juz besar, yang secara keseluruhan setelah adanya peringkasan dari penulisnya membutuhkan 3.000 lembar kertas. Kemudian dengan takdir Allah, manuskrip dari tafsir ini ditemukan kembali dalam keadaan utuh di masa raja Hamud bin Al Amir Abdur Rasyid, salah satu raja Najd, yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia barat dan timur hingga kini.

Kalau melihat komentar dan pujian ulama terhadap tafsir ini, kita akan mendapatinya sebagai tafsir yang telah disepakati mereka sebagai tafsir yang sangat tinggi kualitasnya dan sebuah tafsir yang harus dijadikan rujukan bagi para pencari tafsir Al Qur’an. Misalnya Imam Suyuthi Rahimahullah berkomentar, "Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuat pendapat-pendapat para ulama, dan sekaligus menguatkan dari pendapat-pendapat itu, dan (memuat -red) uraian nahwu serta istibath hukum, maka dengan kelebihannya, ia menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya" (Al Itqan,2/190).

Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, "Umat Islam sepakat bahwa tidak ada seorangpun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir Ath Thabari" (Al Itqan,2 190).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkomentar, "Adapun tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari. Hal ini karena menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak menukil kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya" (Fatawa Ibnu Taimiyah, 2/192). Dan banyak pujian ulama lainnya.

Jadi Tafsir Ath Thabari bisa dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari waktu penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tesebut merupakan tafsir pertama yang sampai pada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan perputaran jaman sehingga tidak sampai ke tangan kita. Adapun dilihat dari sisi penyusunan keilmuannya, maka ia tafsir yang memiliki ciri khas yang ditemukan oleh penulisnya yang kemudian ia tempuh sebagai metode tersendiri hingga ia persembahkan kepada umat manusia sebagai karya yang agung.

Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir (kunyah Ath Thabari) mengingkari tafsiran dengan logika semata. Pada umumnya ia membawakan riwayat-riwayat dengan sanadnya sampai shahabat atau tabi’in, dengan memperhatikan ijma’ Ulama, mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat, kisah-kisah israiliyyat (jika beliau kritik sanadnya maka perlu diteliti kisahnya), tidak membahas masalah yang tidak memberi faidah keilmuan, merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat yang kurang jelas, serta bersandar pada syair-syair bahasa Arab untuk mendukung tafsirnya.
Selengkapnya...

Tafsir Ibnu Katsir

Sesungguhnya memahami Kalamullah adalah cita-cita yang paling mulia dan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) yang paling agung. Amalan ini telah dilakukan shahabat, tabi’in dan murid-murid mereka yang menerima dan mendengar langsung dari guru-guru mereka. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang mengikuti jejak mereka hingga hari kiamat.

Tidak diragukan, orang pertama yang menerangkan, mengajarkan, dan menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat telah menerima Al Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara bacaan dan pemahaman. Mereka mengetahui makna-makna, maksud-maksud dan rahasia-rahasianya karena kedekatan mereka dengan Rasulullah, khususnya Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhum.

Mereka adalah para shahabat yang terkenal alim di antara shahabat lainnya. Para shababat adalah guru-guru bagi tabi’in yang di kemudian hari melahirkan ahli tafsir dari generasi ini di Makkah, Madinah dan Irak. Dari shahabat dan tabi’in, dilahirkan ahli tafsir yang mengetahui sejarah tafsir -di madrasah tafsir dengan atsar (jejak/petunjuk) Nabi dan Shahabat- yaitu imam besar dalam ushul tafsir: Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).

Ciri khas dari madrasah tafsir dengan atsar adalah menafsirkan ayat Al Qur’an dengan satu atau lebih ayat Al Qur’an lainnya. Bila tidak memungkinkan maka ditafsirkan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih. Jika tidak ditemukan hadits yang menjelaskannya maka ditafsirkan dengan ucapan shahabat terutama shahabat yang telah disebutkan di atas. Jika ucapan shahabat tidak ditemukan maka dengan ucapan tabi’in seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah dan Al-Hasan Al-Basri. Namun jika semuanya ada, maka biasanya disebut semua.

Adapun menafsirkan Al Qur’an dengan akal semata, haram menurut kesepakatan ulama Ahlus Sunnah, apalagi tafsir yang dilandasi ilmu filsafat -walaupun terkadang benar- termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (artinya): “Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan akalnya atau tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya dengan api neraka.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)

Di abad ke-8 Hijriyah lahir seorang ulama ahli tafsir yang merupakan alumnus akhir madrasah tafsir dengan atsar. Dialah Isma’il bin ‘Umar bin Katsir rahimahullah, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 774 H). Tafsirnya dijadikan rujukan oleh para ulama dan penuntut ilmu semenjak jaman beliau hingga sekarang.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah -beliau juga menulis tafsir- mengatakan bahwa Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak bisa dikatakan sebagai tafsir terbaik, dari kitab-kitab tafsir yang ada. Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah menilai tafsirnya menakjubkan, belum ada ulama yang menandinginya. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam bukunya Al-‘Ilmu menganjurkan penuntut ilmu membaca Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir
Selengkapnya...

One corner in Cairo








Selengkapnya...

Egyptian Foods










Selengkapnya...

Cairo at night





Selengkapnya...

Egypt Trans









Selengkapnya...

Egyptian














Selengkapnya...